Masih segar di ingatan kita, pemerintah dalam hal ini, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerapkan sebuah terobosan dalam
peningkatan kompetensi guru, yaitu sertifikasi guru (PLPG). Sertifikasi guru
adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik
diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru
profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik
pendidikan yang berkualitas.
Dasar utama pelaksanaan sertifikasi adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember 2005. Pasal
yang menyatakannya adalah Pasal 8: guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal lainnya adalah Pasal 11, ayat (1) menyebutkan bahwa sertifikat
pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi
persyaratan. Landasan hukum lainnya adalah UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun
2007 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam Jabatan yang ditetapkan pada tanggal 4
Mei 2007.
Tahun 2012, sertifikasi guru akan diselenggarakan. Namun, kali ini ada
peraturan baru. Terlebih dahulu seluruh guru harus melalui Uji Kompetensi Awal
(UKA).
Dasar Kebijakan SKB 5 Menteri
Mulai tahun 2010 tunjangan profesi bagi sebagian guru pegawai negeri sipil
daerah (PNSD) dibayarkan melalui mekanisme transfer ke daerah di kantor dinas
pendidikan kabupaten/kota masing-masing. Sedangkan tunjangan profesi guru bukan
PNS dan sebagian guru PNS masih tetap disalurkan melalui dana dekonsentrasi di
dinas pendidikan provinsi masing-masing.
Untuk mengatasi ketimpangan pemerataan guru di sekolah-sekolah, pemerintah
pusat mengambil alih kewenangan daerah dalam hal pengelolaan guru yang
melibatkan 5 kementerian, yaitu Kemendikbud, Kemenag, Kemendagri, Kemenkeu dan
KemenPAN-RB. Ke-5 kementerian ini sepakat menandatangani sebuah kebijakan,
yaitu Surat Keputusan Bersama 5 (lima) Menteri (SKB 5 Menteri). SKB 5 Menteri
mengenai pemerataan jam mengajar dan efisiensi waktu guru dalam mengajar.
Mendikbud, M Nuh kembali mengungkapkan, ditandatanganinya Surat Keputusan
Bersama (SKB) lima menteri pekan lalu adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan
di seluruh Indonesia.
Ia mengatakan, roh yang terdapat dalam SKB 5 menteri itu adalah untuk
menarik seluruh urusan tata kelola guru yang tahun ini ditangani oleh
pemerintah kabupaten/kota kembali menjadi wewenang pemerintah provinsi dan
pusat. Inti dari SKB itu adalah soal distribusi guru. Jadi kalau ada kelebihan
atau kekurangan guru di tingkat provinsi, maka gubernur punya kewenangan untuk
mendistribusi guru antarkabupaten
SK ini menimbulkan penolakan terutama dari guru. Banyak guru yang resah
dengan kebijakan ini. Karena tuntutan mengajar minimal 24 jam dalam seminggu.
Beberapa hal yang membuat guru galau: (1) Kekurangan jam mengajar. Ketika SKB
tersebut diberlakukan maka banyak guru yang kekurangan jam mengajar untuk
memenuhi target peraturan 24 jam. (2) Terancamnya tunjangan profesi. Kini sudah
banyak guru yang menikmati tunjangan sertifikasi dengan tuntutan minimal 24
jam. Ketika jam tersebut tidak dipenuhi maka tunjangan tersebut akan dicabut.
(3) Mengancam guru swasta. Guru swasta yang telah mengajar biasanya posisinya
akan terancam oleh guru negeri yang mencari jam di sekolah swasta. Konflik yang
terjadi adalah guru swasta jamnya digusur oleh guru negeri tersebut. (4) Tidak
konsen mengajar. Ketika terlalu berat tuntutan yang diberikan maka peserta
didik yang menjadi korban, karena guru juga memiliki tugas yang lain selain
mengajar. Misalnya analisis soal, bimbingan siswa dan tugas administrasi yang
lain, dan (5) Hilangnya budaya ilmiah. Dengan banyaknya jam mengajar yang harus
dipenuhi akan menyebabkan hilangnya waktu bagi para guru untuk membaca dan
menulis.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai Surat Keputusan Bersama (SKB)
5 Menteri tentang penataan dan pendistribusian guru menimbulkan banyak
permasalahan. Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti mengatakan, dalam
implementasinya, SKB tersebut menimbulkan kekacauan, ketidakharmonisan di
antara guru dan banyak guru kehilangan pekerjaan serta terancam dicabut
tunjangan sertifikasinya.
Menurutnya, ada sejumlah dampak negatif yang merugikan guru dan siswa akibat
pelaksanaan SKB 5 Menteri. Adapun, dampak nyata dalam penerapan SKB tersebut,
di antaranya, mengabaikan peningkatan mutu pendidikan. Seorang guru harus
mengajar (tatap muka) minimal 24 jam dan maksimal 40 jam.
Akibatnya dari penerapan ini, banyak terjadi "pertikaian"
horizontal di lapangan akibat perebutan jam mengajar. Pembulatan ke bawah
mengakibatkan banyak guru PNS yang tidak memperoleh 24 jam di tempatnya
bertugas. Dampaknya, para guru jadi saling serang dan menganggap guru lainnya
sebagai ancaman.
Para guru yang kekurangan jam tidak menerima kebijakan tersebut dan kemudian
melawan. Kondisi sekolah menjadi tidak harmonis, terlebih dasar pembagian jam
juga banyak tidak merujuk pada ketentuan SKB 5 Menteri. Pembagian lebih
didasarkan pada senioritas bukan kompetensi dan kinerja atau prestasi.
Selanjutnya, SKB 5 Menteri juga memicu mutasi guru nasional secara
besar-besaran. SKB berpeluang memutasi 20-50 persen guru PNS di sekolah negeri.
Perkiraan itu didasarkan pada SKB yang menentukan rumus perhitungan kebutuhan
guru jenjang SMA.
SKB 5 Menteri akan menyingkirkan guru PNS junior dan seluruh guru honorer di
sekolah negeri. Selain itu, ketentuan SKB 5 Menteri tentang waktu tatap muka
untuk sekolah lain (75 persen) dan untuk sekolah induk (25 persen) berakibat
pada pemborosan energi, tidak fokusnya guru dalam memberikan materi, menghambat
karir, serta mengganggu perekonomian guru.
Penutup
Rasanya tidak adil, setiap ada kebijakan Kemendikbud, sasarannya adalah
guru. Ini membuktikan seakan-akan gurulah biang kerok mundurnya kualitas pendidikan
di Indonesia. Apakah pemerintah tidak sadar bahwa mundurnya pendidikan di
Indonesia juga tidak terlepas dari perbuatannya. Pemerintah terlalu banyak
menuntut tanpa dibarengi tindakan kooperatif. Seolah-olah guru dianggap maaf,
"kerbau yang dicolok", harus mengikuti setiap "kemauan"
Kemendikbud.
Tidak hanya itu, faktor orang tua juga tidak bisa dianggap remeh. Pendidikan
dari orang tua akan mempengaruhi pendidikan anak (siswa) di sekolah. Didikan
orang tua berperan menciptakan karakter anak. Perilaku siswa juga adalah faktor
pendukung rusaknya citra pendidikan. Pengaruh lingkungan negatif membuat
siswa-siswa meremehkan didikan guru. Banyak siswa sekarang yang melawan
perintah guru. Ini diakibatkan pergaulan buruk di luar sekolah. Jadi, jangan
hanya menyalahkan dan "menyiksa" guru dengan berbagai kebijakan yang
memberatkan eksistensi guru. Tidak adakah "angin surga" yang
ditawarkan untuk guru?. ***
Oleh: Join L. Silaban, S.Pd. Penulis adalah Guru Honorer di Sekolah
Methodist Tanjung Morawa